Makalah Kelemahan Otonom Daerah Pada Era Reformasi
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sebagaimana diketahui bahwa setelah orde
baru berakhir, lahirlah era-reformasi yang didukung oleh hampir seluruh pemuda
tanah air, diantaranya mahasiswa yang berperan andil dalam menegakkan keadilan.
Tindakan reformasi tersebut mengemban sebuah amanat yang berisi:
desentralisasi, penghapusan dwi fungsi ABRI, dan pemberantasan KKN.
Mengenai desentralisasi muthlak
berhubungan dengan otonomi daerah. Pada saat era-reformasi, pemerintahan telah
mengeluarkan kebijakan mengenai otonomi daerah. Kebijakan tersebut yaitu UU No.
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU. No. 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Dalam
perkembangannya, kebijakan otonomi daerah melalui UU No. 22 tersebut dinilai
memiliki beberapa kelemahan dari segi implementasi maupun kebijakannya.
RUMUSAN MASALAH
1. Apa
kelemahan kebijkan otonomi tersebut dan apa dampaknya bagi rakyat?
2. Apa peran
pemerintah dalam menanggapi kelemahan kebijakan otonomi tersebut?
TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui
kelemahan kebijkan otonomi daerah era-reformasi
2. Memahami
sepak terjang pemerintah dalam menanggulangi kelemahan kebijkan tersebut.
PEMBAHASAN
A. Kelemahan Otonomi
Daerah Era-Reformasi
Pada
hakikatnya, konsep otonomi daerah dibangun mengandung arti adanya kebebasan
daerah untuk mengambil keputusan, baik politik maupun administratif, menurut
prakarsa sendiri. Dalam konteks ini maka kebebasan dalam pengambilan keputusan
dengan prakarsa sendiri suatu yang niscaya. Oleh karena itu, kemandirian suatu
daerah menjadi hal penting, tidak boleh ada intervensi dari pemerintahan pusat.
Ketidakmandirian daerah berarti ketergantungan pada pusat.
Nyatanya,
otonomi daerah pada masa reformasi menganut system desantralisasi. Artinya,
kebijakan daerah tergantung oleh kebijakan daerah itu sendiri. Hal itu dapat mendorong daerah untuk lebih efisien
dalam mengelola daerah. Pada saat itu, pemerintah menerapkan kebijakan otonomi
daerah yang tertuang dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Memang dari satu sisi kebijakan tersebut mengandung sejumlah nilai yang
fositif. Namun apabila dikaji lebih teliti, tampak jelas bahwa pemerintah dalam
menjalankan otonomi daerah masih setengah mati. Pemerintah tidak tulus dan
tidak rela dalam memberikan otonomi yang luas kepada daerah.
Syamsudin
haris mengatakan bahwa UU tersebut masih bersifat setengah hati dan masih
menerapkan paradigma lama. Belum terjadi perubahan yang signifikan terhadap
otonomi daerah. Sebab masih banyak kewenangan daerah yang diurus oleh pusat dan
dana perimbangan belum mencerminkan rasa keadilan.
Hal
tersebut terlihat jelas pada pasal 7 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1999 yang
menyatakan bahwa: kewenangan daerah mencangkup dalam kewenangan seluruh bidang
pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan
keamanan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.
Kalimat
terakhir pasal 7 ayat (1) menyebutkan “serta kewenangan bidang lain”. Dan
kewenangan bidang lain tersebut dijabarkan melalui ayat (2) yang menyatkan:
kewenagan bidang lain, sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi kebijakan tentang
perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana
perimbangan keuangan, system administrasi Negara, pembinaan dan pemberdayaan
sumber daya manusia, pemberdayaan sumber alam serta teknologi yang straktegis,
konservasi dan standarisasi nasional.
Setelah
diteliti lebih dalam, pasal tersebut memiliki batasan-batasan bagi pemerintah
daerah sehingga pemerintah daerah tidak secara maksimal, utuh dan mandiri
mengelola daerah. Hasilnya, kebijakan tersebut memiliki kelemahan diantaranya:
1. Aspek
kelembagaan pemerintah daerah yang menempatkan posisi DPRD terlalu dominan
2. Akuntabilitas
DPRD terhadap public
3. Tidak
adanya ruang partisipasi public dalam mengontrol kebijakan public
4. Kebijakan
otonomi daerah hanya menguntungkan daerah-daerah kaya SDA
5. Tidak
adanya otoritas lembaga yang kuat untuk menyelesaikan konflik yang terjadi
antar-daerah.
B. Langkah
Pemerintah dalam Menjawab kelemahan UU No. 22 Tahun 1999
Akibat
dari kelemahan-kelemahan tersebut, sejumlah pihak mendesak pemerintah pusat
untuk mengkaji ulang UU No. 22 Tahun 1999. Akhirnya, pemerintah berhasil
membuat UU No. 32 Tahun 2004 sebagai revisi kebijakan sebelumnya. UU No. 32
Tahun 2004 ini dianggap penting untuk membentuk nuansa sentralistis yang sangat
kental dalam hubungan pusat-daerah. Revisi atas UU tersebut antara lain adalah
pengembalian kewenangan pada daerah yang merupakan hak daerah, penguatan
kapasitas kelembagaan daerah, penguatan kapasitas pendapatan dan keuangan
daerah dan peningkatan kualitas demokrasi di tingkat local melalui pelembagaan
partisipasi public.[1]
Komentar
Posting Komentar