Kisah Inspiratif: Ibu Enam Anak yang Berprestasi


Seorang lelaki beruntung—yang mempunyai enam anak—membagikan pengalamannya bagaimana resep cespleng bisa mempunyai anak yang berprestasi dengan kesalehan dan kecerdasan di atas rata-rata.

Siang itu, aku dan istri duduk melihat anak sulung kami, Muhammad, yang sedang berdiri di atas mimbar dalam acara wisudanya. Anak sulung kami itu menjadi salah satu lulusan terbaik di kampusnya. Ia mendapatkan predikat cum laude dengan nilai yang hampir sempurna. Aku tersenyum bangga melihat prestasi anakku itu. Namun, rasa bangga itu lebih aku haturkan kepada perempuan yang ada di sampingku, yaitu istriku.

Kulirik istriku, senyumnya masih mengembang sambil sesekali menyeka air mata kebahagiaan. Mungkin ini menjadi pengalaman yang tidak asing lagi bagiku. Setiap kali menghadiri undangan di kampus yang di sana terselip acara penghargaan, pasti istriku menangis. Tidak lain karena pada setiap acara itu, pasti nama anak kami selalu disebut. Padahal, setiap tahun, kami bisa menghadiri dari tiga kali peristiwa semacam itu. Tapi, bagiku tetap saja rasa bangga bercampur bahagia ketika berada di saat-saat seperti itu.

Sekarang ini, keluarga kami diamanahi enam orang anak. Anak pertama adalah Muhammad, yang sekarang berdiri di depan mimbar. Anak kedua dan ketiga, saat ini kuliah di Fakultas Kedokteran sebuah kampus ternama. Anak keempat, baru saja masuk tanpa tes di sebuah perguruan tinggi. Sementara, anak kelima dan keenam, masih duduk di bangku SD. Keberhasilan putra dan putri kami, tidak lain karena peran penting dari sosok ibu.

Rasa bangga mengalir setiap kali mengenang perjuangan perempuan yang ada di sampingku. Kebanggaan itu bukan tanpa sebab. Bukan hanya karena ia begitu cantik dan saleh di mataku. Tapi, aku bangga karena ia senantiasa menjaga anak-anak kami. Menjaga garis keturunanku menjadi orang yang baik budi dan pintar hal agama dan keilmuan. Jadi, jika aku ditanya teman mengapa bisa berhasil mendidik anak sebanyak itu, aku pasti akan memberikan rujukan jawaban melalui istriku secara langsung.

Aku masih mengingatnya dengan jelas, ketika ia mengandung putra pertama yang hari ini menjadi sarjana. Setiap saat, ia selalu menjaga wudlu meskipun tidak sedang akan salat. Ia selalu menjaga kesucian diri dari najis, apalagi ketika memasukkan makanan ke perutnya yang sedang mengandung. Kebiasaan itu sudah mulai dilakukannya dari awal masa kandungan.

"Untuk menjaga putra kita, Yah," jawabnya ketika kutanya.

Aku sebagai suami sekaligus calon ayah menerima alasan itu dengan senang hati. Lagi pula, istri tidak keberatan selama melakukannya.

kebiasaan menjaga wudlu berlangsung terus menerus hingga akhirnya Muhammad, anak pertama yang kami tunggu itu lahir ke dunia. Di hari itu, untuk pertama kalinya aku melihat senyum yang tak kunjung putus dari wajah perempuan itu. Aku yang pada waktu itu baru saja menjadi seorang ayah pun tidak kalah bahagianya. Rasa takjub itu muncul kala melihat pancaran wajah anak kami yang begitu cerah, mengisyaratkan kemurnian lahiriah dari seorang manusia yang baru lahir.

Hari demi hari, Muhammad tumbuh menjadi bayi yang sehat dan lucu. Istriku sangat menyayanginya. Ia seolah ingin memberikan yang terbaik, mulai dari makanan hingga perhatian. Komitmennya sebagai seorang ibu ditunjukkan dengan memberikan asupan ASI selama dua tahun penuh. Seperti ketika masih mengandung dulu, ia juga selalu menajaga kesucian sebelum memberikan ASI untuk Muhammad dengan  berwudlu. Keistikamahan istri dalam menjaga wudlu memang selalu membuatku cemburu. Kebiasaan mulia itu dilaksanakannya dalam kondisi apa pun, baik dalam kondisi mudah maupun sulit.

Aku masih mengingatnya dengan jelas. Ketika itu, kami masih tinggal di luar negeri untuk tugas kerja. Saat itu, Muhammad baru saja genap berumur satu tahun. Karena tidak tega meninggalkan keluarga, istri dan anak kubawa serta. Saat itu sedang memasuki musim dingin. Salju tak henti-hentinya jatuh ke bumi hingga menutupi seluruh halaman dan jalan-jalan. Begitu dingin, saat itu, hingga suhu di luar bisa mencapai minus. Tiba-tiba Muhammad menangis karena kelaparan, minta ASI. Istriku yang saat itu sudah berada di samping si kecil justru keluar, tidak segera menyusuinya.

"Mau kemana, Bun? Ini kasihan Muhammad sudah kelaparan?" tanyaku padanya.

"Mau ambil wudlu dulu, Yah," jawabnya sambil berlalu.

Aku yang menyaksikannya tidak bisa berkata lebih banyak lagi. Waktu sudah menunjukkan pukul 01.00 (dini hari). Betapa dinginnya jika kubayangkan berada di luar rumah. Tapi, tiba-tiba istri bergegas keluar mengambil air, membasuh sebagian tubuhnya. Ia berwudlu. Istriku melakukannya demi menjaga kesucian sebelum menyusui anak kami itu. Aku pun terpana. Kurengkuh tubuh anakku yang masih menangis. Kutepuk-tepuk punggungnya supaya terdiam sampai ibunya kembali dari berwudlu.

Begitu selalu ia lakukan hingga Muhammad berumur 2 tahun. Selama menyusui, ia tidak pernah lepas dari wudlu. ketika kutanya, jawabannya sungguh membuatku malu. "Bukankah Fatimah tidak pernah lepas dari wudlu saat menyusui putra-putri beliau, Yah? aku juga ingin melakukannya supaya anak kita tumbuh menjadi anak saleh dan selalu dijaga kesuciannya oleh Allah."

Aku tersenyum ketika mendengar jawaban itu. Begitu bersungguh-sungguh ia dalam hal kebaikan. Bahkan, sebagai suami pun  tidak pernah memberikan teladan baginya. Tapi, justru ia yang selalu mengingatkanku bahwa mendidik anak adalah sebuah tanggung jawab mutlak yang harus dilakukan oleh orang tua. Bahkan, di suatu waktu, tak jarang kutemui ia sedang membaca Al-Qur'an ketika sedang menyusui. Ia belai kepala anak itu hingga tertidur di pangkuannya.

"Semoga menjadi anak yang saleh ya, Nak," gumamnya lirih.

Begitulah istriku, selalu berkomitmen dengan segala hal yang diyakininya benar. Ia selalu mendidik Muhammad dengan memberikan teladan secara langsung. Ia tidak pernah meminta anaknya melakukan sesuatu jika ia belum melaksanakannya terlebih dahulu. Hingga anak kami pun tumbuh menjadi anak yang selalu diharapkan dalam setiap do'a usai salat.

Melihat kesungguhan istriku, aku tergugah untuk melakukannya juga. Aku berusaha menjaga wudlu meskipun di luar waktu salat, dalam aktivitas apa pun itu. Awalnya, begitu berat melakukannya, apalagi ketika bekerja di lapangan. Sungguh sulit mengambil wudlu dalam keadaan seperti itu. Apalagi, teman-temann juga masih asing dengan kebiasaan berwudu ketika tidak akan salat.

"Jam segini mau salat, Pak. Bukannya tadi sudah berjamaah dengan para pekerja?" tanya rekan kerjaku suatu ketika.

"Ah, tidak. Hanya mengambil wudlu saja," jawabku.

Mendengar jawabanku itu awalnya para rekan merasa aneh bahkan ada yang tampak terganggu. Tapi setelah beberapa waktu, mereka menjadi terbiasa dengan kebiasaan baruku itu. Hingga akhirnya aku bisa melakukannya rutin, bisa menjaga wudlu seperti istriku. Selama di rumah pun, hal itu kami terapkan sebagai contoh untuk anak-anak.

Muhammad yang waktu itu baru berusia 3 tahun sudah dikenalkan cara berwudlu oleh ibunya. Dengan sabar, perempuan itu menuntun anak yang mulai tumbuh itu. Setiap kali berwudlu,  pasti anak kami diajak serta. Terkesan tidak ada gunanya memang. Apalagi mengingat bahwa usia Muhammad waktu itu masih menginjak masa batita. Namun, betapa terkesannya aku saat mengetahui antusiasnya. Ia selalu menirukan gerakan ibunya hingga ia bisa melakukan wudlu dengan baik sesuai yang diajarkan oleh sang ibu.

Seiring berjalannya waktu, anak kami pun tumbuh menjadi remaja. Sungguh bahagia rasanya ketika melihat anak lelaki kami menjadi seorang yang baik dalam ibadah dan cerdas akhlaknya. Setelah balig, Muhammad tidak pernah meninggalkan salat berjamaah. Ia juga senantiasa menjaga wudlu seperti yang telah dicontohkan ibunya. Ia selalu menjadi juara kelas sejak sekolah dasar.

Sebagai anak, ia mudah bergaul dengan orang lain. Tidak heran, jika ia memiliki banyak teman di sekolah. Teman-teman dan gurunya sangat menyukai Muhammad. Ia selalu ditunjuk menjadi ketua ketika masuk organisasi. Jadi, ketika hari ini ia menjadi lulusan terbaik di kampusnya, aku pun sebenarnya tidak kaget.

Banyak orang tua dari teman-teman dekatnya selalu menanyakan metode yang kami terapkan dalam mendidik anak. Selalu kujawab, kuncinya selalu berada di tangan ibu yang senantiasa mendidik anaknya meskipun masih berada dalam kandungan. Dalam hal itu, istriku telah membuktikannya. Salah satunya adalah dengan menjaga wudlu selama mengandung dan menyusui anak kami. Dengan begitu, semoga Allah Swt. senantiasa menjaga kesucian sang bayi hingga ia nanti tumbuh dewasa.

Keberhasilan mendidik Muhammad pun akhirnya menurun pada adik-adiknya. Kebiasaan berwudlu selalu diterapkan istri ketika mengandung dan menyusui kelima anak yang lain. Ia selalu menjaga kesucian diri. Begitu pula denganku, aku selalu berusaha menjaga wudlu ketika berinteraksi dengan anak-anak. Rasanya menjadi lebih tenang ketika harus menghadapi mereka.

Kami sekarang telah membiasakan bersuci itu sebagai kebutuhan yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan. Kebiasaan ringan yang sangat membantu menjernihkan pikiran dan menenangkan hati. Karena dangan kondisi suci itulah, manusia semakin dekat dengan Sang Pencipta.


(Disclaimer: ditulis kembali dari buku yang berjudul "Nisa'ul Auliya" karya Ibnu Watiniyah)

Surabaya, 3 syawal.

Foto oleh Monstera Production dari pexels.com


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tidak ada kaitannya marah dengan baik (cerita Nabi dengan istrinya, Shofia)

berbincang Asyik tentang kebinekaan bersama kemendikbud