Maf’ul Ma’ah





Maf’ul Ma’ah
1.      Pengertian
Maf’ul ma’ah yaitu isim yang dinashobkan yang terletak setelah wawu yang memiliki arti “bersamaan”. Contohnya sebagai berikut :
مشيتُ والقمرَ      aku berjalan bersamaan bulan
   حضر محمد و غروبَ الشمس  Muhammad hadir bersamaan terbenamnya matahari
Berikut adalah beberapa pengertian maf’ul ma’ah dari beberapa referensi, yaitu :
a.  jurumi’ah
وهو الاسمُ المنصوبُ الذي يُذكَر لبيانِ من فُعِل معه الفعلُ
“ialah isim manshub yang dinyatakan untuk menjelaskan dzat yang menyertai perbuatan pelakunya”.
Contoh :
جاء الاميرُ والجيشَ  = pemimpin beserta bala tentaranya telah datang
b. mutamimah
وهو الاسم المنصوب الذي يُذكَر بعد واو بمعني مع لبيان من فعل معه الفعل
“ialah isim manshub yang disebutkan setelah wawu yang bermakna ‘bersamaan’
                yang menjelaskan dzat yang menyertai perbuatan pelakunya”.
Contoh :
أنا سائرٌ والنيلَ  = saya berjalan bersamaan sungai nil
c. imriti’
تَعْرِيفُهُ اسمٌ بعدَ واوٍ فَسَّرَ * مَنْ كان معه فعلُ غيرهِ جرى
“ialah isim yang terletak sesudah wawu ma’iyyah yang menjelaskan dzat (orang) yang sama-sama melakukan suatu  perbuatan”.
 Contoh :
ما انتَ و زيدًا  = bagaimana keberadaanmu bersama zaid
d. nahwu wadlih
هو الاسمُ المنصوبُ دائما  بعد واو المعيَّةِ التي تدُلُّ علي المُصاحبةِ
“ialah isim yang selamanya manshub yang jatuh setelah wawu yang memiliki makna ‘bersamaan’.
 Contoh :
قرأ محمدٌ والمِصْباحَ  = Muhammad membaca bersamaan adanya lampu
e. alfiyah
هو الاسمُ المُنتصبُ بعد واوٍ بمعني مع
“ialah kalimah isim yang dibaca nashob yang terletak setelah wawu yang bermakna ‘bersamaan’”.
 Contoh :
سِيْرِي وَالطَّرِيْقَ مُسْرِعَةً  = berjalanlah kamu bersamaan jalan dengan cepat

2.      Syarat maf’ul ma’ah
Dari beberapa pengertian maf’ul ma’ah di atas, dapat diketahui bahwa suatu lafadz bisa dikatakan maf’ul ma’ah dengan tiga syarat, yaitu :
a.       Berupa isim ( yang mufrod )
Maka tidak boleh maf’ul ma’ah tersebut tercetak dari fi’il atau jumlah, seperti :
1.      Fi’il  = لا تأكُلْ السمكَ و تسربَ اللبنَ  janganlah kamu memakan ikan bersamaan minum susu
2.      Jumlah = سرت والشمسُ طالعةٌ  saya berjalan bersamaan terbitnya matahari
b.      Dibaca nashob
 Isim yang tidak dibaca nashob maka isim tersebut bukan maf’ul maah, contonya :
جاء أحمدُ وعمرٌ قبله  Zaid datang, dan Umar datang sebelumya.

3.      Amil yang menashobkan maf’ul ma’ah
Ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa amil yang menashobkan maf’ul ma’ah itu ialah wawu itu sendiri yang bermakna ‘mushohabah’ atau (ma’a) yang memiliki arti “bersamaan”. Salah satu ulama yang mengikuti pendapat ini yaitu imam al-Jurjani.
Akan tetapi menurut pendapat yang lebih benar bahwa yang menashobkan maf’ul ma’ah yaitu fi’il atau sibih fi’il. Kaidahnya tercantum di alfiyyah pada bait ke 312, yang berbunyi sebagai berikut :
بِما مِنَ الفعلِ وشِبْهِهِ سَبَق         *        ذَا النَّصْبُ لا بالوَاوِ في القَولِ الأحَقْ
Dinashobkan dengan fi’il atau sibuh fi’il yang mendahului, membaca nashob pada isim tersebut bukan dengan wawu mengikuti qoul yang lebih benar”.
 Berikut adalah contohnya :
1.      Yang berupa fi’il
سِيْرِي وَالطَّرِيْقَ مُسْرِعَةً 
Lafadz مُسْرِعَةً  terbaca nashob dengan fathah oleh amil yang berupa fi’il yaitu lafadz سِيْرِي.
2.      Yang berupa sibih fi’il
زيدٌ سَائِرٌ وَالطريقَ  Zaid berjalan bersamaan jalan
Yang menashobkan lafadz الطريقَ yaitu lafadz سَائِرٌ
Pada dasarnya maf’ul ma’ah itu harus terletak setelah adanya amil, berupa fi’il maupun sibih fi’il sebagaimana keterangan diatas. Namun, jika maf’ul ma’ah terletah setelah ما istifham atau كيف, maka dinashobkan fi’il yang tercetak dari masdar كون yang hukumnya wajib disimpan. Hal ini menurut sebagian orang Arab. Contohnya sebagai berikut :
a.       ما أنتَ وزيدًا  Bagaimana keberadaanmu bersama Zaid
Takdirnya ما تكونُ وزيدًا , tetapi yang lebih unggul dibaca rofa’, diucapkan ما أنتَ وزيدٌ .
b.      كيف انتَ وقَصْعَةً مِنْ تَريْدٍ  Bagaimanakah keberadaanmu bersamaan sepiring jenang Tsarid. Takdirnya كيف تكون وقصعة , tetapi yang lebih unggul dibaca rofa’.

4.      Perbedaan antara wawu ma’iyyah dan wawu ‘athaf
Perlu diketahui seksama bahwa antara wawu ma’iyyah dan wawu ‘athaf sangat berbeda dari segi arti maupun kedudukannya. Wawu ma’iyyah memiliki arti ‘bersamaan’, sedangkan wawu ‘athaf hanya memiliki makna ‘dan’ atau sebagai penghubung dengan kalimat sebelumya.
Tentu setelah kita teliti, bahwa setiap isim yang jatuh setelah wawu ma’iyyah, pasti isim tersebut ber’irob nashob selamanya. Dengan demikian, nashob itu juga yang membedakan antar keduanya. Sedangkan setiap isim yang jatuh setelah wawu ‘athaf maka isim tersebut tidak mutlak nashob, karena ia bukan wawu ma’iyyah, akan tetapi isim tersebut mengikuti terhadap hukum isim sebelum wawu ‘athaf itu sendiri. Oleh karena itu, wawu ‘athaf memiliki fungsi ‘musyarokah’ atau ‘kerjasama’ (antar hukum isim sebelum wawu ‘athaf dengan isim sesudahnya).
Berikut contoh wawu ma’iyyah dan wawu ‘athaf beserta kaidahnya yang diambil dari nahwu wadlih :
Contoh wawu ma’iyyah :
سرت وطلوعَ الفجرِ  = saya berjalan bersamaan terbitnya fajar
جلست والقمرَ          = saya duduk bersamaan bulan
Kaidah wawu ma’iyyah :
واوالمعيّةِ لا تُفِيْدُ اشتِرَاكَ ما قبلها وما بعدها في الحُكمِ بل تدُلّ علي المُصاحبةِ, ولاسمُ بعدها يكون منصوبًا دَائِمًا علي أنّه مفعولٌ معه
wawu ma’iyyah tidak memberikan faidah kerjasama persamaan antara isim sebelum dan sesudah wawu, akan tetapi wawu tersebut menunjukan atas makna ‘bersamaan’. Isim yang jatuh setelah wawu itu mutlak dinashobkan, karena isim itu ialah maf’ul ma’ah”.
Contoh wawu ‘athaf :
تخاصمَ أحمدُ وحسنٌ     = Ahmad dan Zaid saling berkelahi
اشتركَ محمودٌ ونجيبٌ   = Mahmud dan Najib bekerjasama
Kaidah wawu ‘athaf :
واوُ العطفِ تُفيدُ اشتِراكَ ما قبلها وما بعدها في نسبةِ الحكمِ إليهما، والاسمُ بعدها يكون تابعا لما قبله في إعرَابهِ
wawu a’thaf memberikan faidah ‘kerjasama’ di dalam menisbahkan hukum (‘irab) terhadap isim sebelum dan sesudahnya wawu ‘athaf, dan isim setelah wawu itu sebagai tabi’ yang mengikuti hukum (‘irab) isim sebelum wawu ‘athaf.

5.      Hukumnya isim yang terletak setelah wawu
Isim yang terletak setelah wawu terdapat beberapa kemungkinan. Isim tersebut bisa berupa عطف yang terletak setelah wawu ‘athaf sehinnga isim tersebut mengikuti terhadap hukumnya isim yang ada sebelum wawu ‘athaf itu sendiri. Ataupun, isim tersebut berupa maf’ul ma’ah yang jatuh setelah wawu ma’iyyah.
Kemungkinan tersebut terjadi karena sebuah kelemahan. Kelemahan ini dapat berupa lafadz maupun makna. Sebagaimana kaidah yang tercantum di bait alfiyyah, yaitu :
والعَطفُ إنْ يُمكِنُ بلا ضَعْفٍ أَحَقُّ        *        والنصبُ مُختَارٌ لَدى ضَعْفِ النَّسَقِ
“Mengathofkan isim yang terletak setelahnya nya wawu itu hukumnya lebih baik ( daripada dijadikan maf’ul ma’ah ) apabila tidak ada kelemahan ( dari sisi lafadz atau makna ), dan membaca nashob pada isim yang terletak setelah wawu (dengan menjadi maf’ul ma’ah ) itu hukumnya dipilih ketika lemah diathaf nasaqkan”
والنّصْبُ إنْ لم يَجُزْ العَطْفُ يَجِبْ             *              أوِ اعْتَقِدْ إضْمَارَ عَامِلٍ تُصِبْ
Apabila isim yang terletak setelah wawu tidak boleh diathafkan maka wajib dibaca nashob ( menjadi maf’ul ma’ah ), atau dibaca nashob dengan amil yang disimpan”.
Dari bait di atas, dapat disimpulkan bahwa hukumnya isim yang terletak setelah wawu sebagai berikut :
1.      Jika bisa diathafkan
a.       Athaf lebih baik
Selama isim bisa diathafkan dan tidak ada kelemahan sama sekali baik segi lafadz maupun makna, karena merupakan asal. Pada keadaan ini pula, isim tersebut boleh dijadikan maf’ul ma’ah. Contoh :
جاء زيدٌ وعمرٌ   Telah datang Zaid dan Umar
b.      Maf’ul ma’ah lebih baik
Apabila terdapat kelemahan ketika diathafkan. Contoh kelemahan dari segi lafadz, yaitu :
سرتُ و زيدًا  aku berjalan bersamaan Zaid.
Karena mengathofkan terhadap dlomir rofa’ yang muttashil dan tidak ada pemisahnya itu hukumnya tidak baik dan tidak kuat.
2.      Jika tidak bisa diathafkan
Maka wajib dibaca nashob, dengan tarkib menjadi maf’ul ma’ah atau menyimpan ‘amil yang sesuai.
tidak bisa diathafkan ini adakalanya karena ada perkara yang mencegah (mani’) dari segi lafadz atau makna. Contonya yaitu :
a.       Pencegah segi makna
سرتُ والنيلَ  Saya berjalan bersamaan sungai nil
Yaitu dari setiap perkara yang tidak boleh musyarokah dalam hukum antara perkara setelahnya wawu dan sebelumnya, karena tidak mungkin sungai berjalan.
b.      Pencegah segi lafadz
ما لك و زيدًا  Apa yan kamu miliki bersamaan Zaid
Karena mengathafkan lafadz kepada dlomir yang dibaca jar tanpa mengulangi amil yang mengejerkan itu hukumnya tercegah menurut menurut jumhur ‘ulama, maka wajib dibaca nashob menjadi maf’ul ma’ah.



Daftar Pustaka
1.      Al-Ujrumiah beserta syarah mukhtashor jiddan
2.      Mutamimah al-ujrumiah
3.      ‘imrithi
4.      Nahwu wadlih
5.      Maqoshid an-nahwiyyah jilid dua




     









Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Inspiratif: Ibu Enam Anak yang Berprestasi

Tidak ada kaitannya marah dengan baik (cerita Nabi dengan istrinya, Shofia)

berbincang Asyik tentang kebinekaan bersama kemendikbud