Artikel Ikhtiyar Santri dalam Menjawab Tantangan Globalisasi

Ikhtiyar Santri dalam Menjawab Tantangan Globalisasi
Kecanggihan teknologi merupakan tanda kecemerlangan dunia saat ini. Dengan banyaknya ditemukan teknologi, semakin mudah manusia memenuhi kebutuhannya. Hal yang tidak dapat dijangkau manusia, bisa dijangkau oleh teknologi, itulah esensi dari sebuah teknologi.
Di balik kecanggihan teknologi, terdapat dampak yang membuat dunia berubah. Dunia yang diharapkan sejahtera, damai, dan saling membantu antar-negara, kini dihadapkan dengan sebuah persaingan. Dikatakan bahwa negara yang menguasai teknologi, akan menguasai pula dunia. Hal inilah yang membuat mindset negara berubah secara pesat. Mereka saling berlomba-lomba menemukan, menciptakan, dan menguasai teknologi. Dan yang paling mengerikan, perang dunia ke-tiga tidak melalui cara fisik, namun secara persaingan teknologi serta menguasai pasar dunia.
Salahsatu dampak globalisasi yang dirasakan di dalam negeri yaitu belum seimbangnya perekonomian. Mencari sebuah pekerjaan adalah hal yang sulit, bahkan yang sudah mendapatkan profesi, misalanya berdagang, masih tetap mengeluh. Hal serupa dirasakan pula oleh mereka yang jauh dari kawasan kota. Alternatif mereka untuk mendapatkan pundi rupiah yaitu bermigrasi ke daerah kawasan kota. Mereka menganggap bahwa kota tempat tumbuhnya ekonomi dengan mudah. Namun faktanya, baik di kota maupun desa terkadang mengalami kemerosotan dan kedinamisan ekonomi.
Banyaknya perusahaan asing yang tumbuh di dalam negeri merupakan hal yang membuat negeri tidak dapat menguasai ekonomi secara utuh. Perusahaan asing tersebut hanya menumpang tempat dan memanfaatkan SDM/A(Sumber Daya Manusia/Alam) milik negeri. Secara pandangan sesaat, hadirnya perusahaan asing di dalam negeri sangat membantu ekonomi negeri. Mengurangi pengangguran, misalnya. Namun hanya sedikit pajak yang diterima oleh negeri, sehingga negeri belum mampu mensubsidikan hasil pajaknya secara maksimal.
Tidak hanya itu, perusahaan-perusahaan yang top di tanah air, hampir dikuasai oleh non-muslim. Sebagaimana yang dikatakan Bapak Chairul Tanjung, pengusaha sukses yang memimpin CT. Corp, dari lima puluh orang terkaya di Indonesia, hanya delapan orang yang beragama muslim dan empat puluh dua orang yang beragama non-
muslim. Padahal, Indonesia bermayoritas muslim dengan jumlah 82,2% sedangkan nonmuslim
18,2% dari total jumlah penduduk Indonesia.
Menurut pengamatan beliau, hal tersebut dapat terjadi karena beberapa faktor.
Pertama, pendidikan Indonesia yang masih rendah dan belum bisa mencetak SDM yang
berdaya saing. Rata-rata pelajar indonesia hanya menyelesaikan pendidkannya sampai
tingkat SMA/sederajat, bahkan ada beberapa yang hanya sampai SMP dan juga SD.
Sehinngga mereka tertinggal dengan kemajuan pengetahuan saat ini. Kedua, kurangnya
entrepreneur yang dapat mempengaruhi SDM lain untuk menciptakan lapangan kerja
serta seksama membangun pertumbuhan ekonomi. Entrepreneur merupakan subjek
yang paling penting dalam mengelola sebuah instansi. Apabila setiap entrepreneur lahir
dan berada di setiap daerah nusantara, maka Indonesia akan mengalami keseimbangan
ekonomi bahkan dapat berdaya saing di luar negeri. Ketiga, terjebak dalam budaya yang
kurang unggul. Gampang menyerah sebelum melakukan berbagai tugas, kurang disiplin
dalam melakukan aktivitas, dan cenderung menginginkan sesuatu yang cepat saji, itulah
contoh dari budaya yang kurang unggul. Budaya jelek tersebut harus dihindari bahkan
dilenyapkan demi kelancaran dan stabilitas negeri.
Untuk menjawab tantangan tersebut, pendidikan adalah solusi yang tepat.
Melalui pendidikan, diharapkan setiap pelajar menguasai pengetahuan umum dan
teknologi. Pendidikan ideal yaitu tidak sampai lulusan SMA/sederajat, melainkan
sampai bergelar doktor atau dididik dan diciptakan menjadi entrepreneur muda. Untuk
mencapai hal tersebut, perlu dukungan dan kerjasama antara pemerintah dan menteri
pendidikan yang memberikan kesempatan dan peluang secara besar untuk bangsa.
Disamping itu, budaya pendidikan yang terbaik di Indonesia ialah pondok
pesantren. Pondok pesantren menerapakan sistem asrama, sehingga setiap pelajar di
pesantren terawasi dan menjadi pelajar yang diharapakan pondok. Setiap pelajar di
pondok pesantren dinamakan santri, merekalah yang gemar dan tekun memperdalam
ilmu agama. Selain mereka mendapatkan ilmu agama, mereka dididik untuk berakhlak
baik atau berbudi luhur. Sehingga yakin bahwa setiap santri memiliki jiwa budaya
unggul yang siap bersaing. Tidak setiap pondok pesantren hanya fokus dalam satu
bidang, yaitu agama, namun kini juga menyediakan dengan pengetahuan umum, bahasa
asing serta teknologi.
Hal tersebut, menjadikan santri relevan sebagai subjek masa depan. Karena selain menguasai ilmu agama dan juga memiliki jiwa yang beradab, santri pun memiliki kualitas keunggulan dalam menguasai ilmu pngetahuan umum, bahasa, dan teknologi. Yang paling terpenting ialah bagaimana pemerintah, menteri agama serta penanggungjawab pondok saling bekerjasama demi terciptanya santri maupun pelajar sebagai generasi masa depan yang diharapakan oleh bumi pertiwi. Santri dituntut untuk berjiwa inovatif, kreatif, entrepreneurship,efisien dan produktif guna menjawab tantangan masa depan. Kini sudah saatnya generasi masa depan lahir dari negeri yang dapat bersaing secara global.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Inspiratif: Ibu Enam Anak yang Berprestasi

Tidak ada kaitannya marah dengan baik (cerita Nabi dengan istrinya, Shofia)

berbincang Asyik tentang kebinekaan bersama kemendikbud