Wahabi dalam Sudut Pandang Aswaja

Pendahuluan
Akhir-akhir ini marak terjadi gerakan keagamaan yang radikal di kalangan masyarakat. Gerakan tersebut mengklaim bahwa mereka memiliki keyakinan yang sangat murni dibandingkan keyakinan selainnya. Gerakan mereka berdalih untuk menumpas kesesatan dan kekufuran kelompok lain yang tidak sefaham dengan mereka. Tidak sedikit pula mereka dengan mudah memvonis sesuatu dengan bid’ah kepada aktivitas kelompok lain. Sehingga yang paling menakutkan lagi, ketika kelompok lain telah dianggap kafir maka darah, harta, dan apapun yang melekat menjadi halal untuk mereka. Gerakan kelompok tersebut dinamakan salafi-wahabi. 

Kelompok yang sekarang mengaku salafi dahulunya dikenal sebagai wahabi. Mereka menamakan diri mereka sebagai salafi dalam rangka menjaga citra mereka. Penamaan salafi tersebut adalah bentuk strategi dakwah mereka agar mudah diterima oleh masyarakat. Dan di antara bentuk dakwahnya yaitu memerangi kekufuran, kemusyrikan, penyembahan berhala, pengultusan kuburan, serta menumpas bid’ah dalam Islam. Sayangnya, mereka salah kaprah dalam penerapannya, dan bahkan sangat melenceng dari nilai-nilai ajaran Islam itu sendiri. 

Berbicara tentang arti ‘salafi’, bahwa sesungguhnya kata ‘salafi’ bukanlah menunjukkan terhadap arti suatu madzhab. Akan tetapi, arti ‘salafi’ menunjukkan pada arti ‘yang terdahulu’. Sedangkan lawan kata dari ‘salaf’ yaitu ‘khalaf’ yang memiliki arti ‘yang terkemudian’. Dan jika ditelaah dalam riwayat hadis manapun bahkan Al-Qur’an, tidak ada yang menjelaskan bahwa kata ‘salaf’ menunjukkan pada arti suatu madzhab, melainkan hanyalah arti ‘yang terdahulu’. 

Salah satu deklarasi yang sangat menonjol pada kelompok salafi-wahabi yaitu ‘kembali ke Al-Qur’an dan Hadis’. Sehingga mereka terkadang disebut sebagai ‘ahlisunnah’ tanpa diikuti kata ‘wal-jama’ah’ karena mereka sangat risih dengan penisbatan tersebut. Dan pada realitanya, tidak sedikit kaum muslimin yang menamakan mereka sebagai salafi palsu. Karena esensi dari kata ‘salafi’ itu sendiri yaitu tidak hanya berlandasakan Al-Qur’an dan hadis saja, melainkan pula pada ulama yang mujtahid terdahulu. Oleh karena itu, hakikatnya mereka bukanlah salafi atau para pengikut ulama terdahulu. 

Apa itu wahabi? 
Wahabi merupakan sebutan bagi aliran atau kelompok yang merujuk kepada ajaran pendirinya yaitu Muhammad ibn Abdul Wahhab Sulaiman an-Najdi. Ia dilahirkan di Uyaynah, Najd, Arab Saudi, pada tahun 1115 H/1703 M, dan wafat pada tahun 1206 H/1792 M. 

Ia sangat mengagumi Ibnu Taimiyah, seorang ulama kontroversial yang hidup di abad ke-8 H. Kekaguman tersebut banyak mempengaruhi cara berpikirnya. Sehingga kecenderungan pemikirannya seperti aliran mujassimah yang menyamakan Tuhan dengan makhluk-Nya. Selain itu, Ia sangat gemar membaca berita dan kisah orang-orang yang mengaku sebagai nabi, seperti Musaylamah al-Kadzab, Sajah at-Taghlabiyyah, al-Aswad al-Unsi, dan Thulayhah al-Asadi.

Namun, pengetahuan agamanya dianggap kurang mumpuni. Karena ia belajar kepada segelintir guru, termasuk ayahnya, dalam waktu yang singkat dan terputus-putus. Ayahnya bernama Abdul Wahhab yang bermadzhab Hanbali.

Muhammad ibn Abdul Wahhab hanyalah seorang ‘guru kampung’ yang pengajarannya tidak diterima oleh masyarakat, akan tetapi mendapat perlakuan teguran dan kritik yang keras dari ayah serta kakaknya sendiri yang bernama Sulaiman ibn Abdul Wahhab. Dan Ia tidak dikategorikan jajaran ulama madzhab Hanbali pada masanya. 

Barulah ketika ayahnya wafat pada tahun 1153 H, Muhammad ibn Abdul Wahhab mulai leluasa untuk menebar pemahamannya. Hingga pada akhirnya ia bersekongkol dengan keluarga as-Saud yang pada waktu itu sebagai penguasa di kota Dir’iyyah. Kepentingan as-Saud yaitu menguasai jazirah Arab yang dipimpin oleh dinasti turki usmani, mengekploitasi minyak bumi serta memanfaatkan paham atau ajaran yang dibawakan Muhamaad ibn Abdul Wahhab sebagai ajaran resmi di kota tersebut.

Takfir dan Bid’ah Sesat sebagai Radikalisme wahabi
Sebagaimana yang telah disebutkan, bahwa karakteristik wahabi tersebut mudah untuk memvonis kafir terhadap orang lain yang tidak sepaham dengan mereka. Sehingga orang yang dianggap kafir oleh mereka, menjadi halal darah, harta serta kehormatannya untuk dinodai.

Istilah ‘takfir’ (mengkafirkan) serumpun dengan kata ‘kafir’. Sedangkan ‘kafir’ berarti ‘murtad’ atau keluar dari agama. Secara bahasa pula, ‘kafir’ juga memiliki arti menutupi sesuatu, menyembunyikan kebaikan yang telah diterimanya, atau tidak terima kasih. Jadi, orang kafir ialah orang yang menutupi hakikat kebenaran dan menutupi nikmat Allah yang diberikan kepadanya. 

Secara akidah, ada empat macam kafir. Pertama, kafir ‘inad, merupakan jenis kekafiran yang masih mengakui adanya Allah baik dengan hati dan lisan, tetapi menolak untuk menjadikannya hal itu sebagai suatu keyakinan karena didorong rasa permusuhan, dengki, dan semacamnya. Kedua, kafir ingkar, merupakan kekafiran dengan mengingkari Allah secara lahir dan batin, mengingkari Rasul-Nya serta ajarana yang dibawanya, dan lain-lain. Ketiga, kafir juhud, merupakan kafir yang membenarkan dengan hati adanya Allah dan para Rasul serta ajaran yang dibawanya, tetapi tidak mau mengikrarkan kebenaran yang diakuinya itu secara lisan. Keempat, kafir nifaq, merupakan kafir yang tampak secara lahiriah beriman, tetapi batinnya mengingkari Allah. 

Dalam pandangan Islam, memvonis kafir tidak boleh dijatuhkan, kecuali oleh orang yang mengetaui seluk-beluk keluar masuknya seseorang dalam lingkaran kekafiran dan batasan-batasan yang memisahkan antara kekafiran dan keimanan dalam syariat Islam. Dan tidak diperkenankan bagi siapa pun untuk menjatuhkan vonis kafir berdasarkan prasangka dan dugaan tanpa kehati-hatian, tanpa bukti pasti, dan tanpa informasi yang akurat. Demikian pula, tidak diperkenankan menjatuhkan vonis kafir terhadap orang-orang yang melakukan tindakan maksiat sepanjang keimanan dan pengakuan terhadap syahadatain tetap terpelihara di dada mereka. 

Selain tindakan mengkafirkan, kelompok wahabi sangat mudah memvonis sesuatu dengan bid’ah. Dan kata ‘bid’ah’ menurut mereka ialah suatu kesesatan yang nyata, atau bid’ah yang sesat. Apa pun yang tidak ditemukan pada masa Nabi adalah kesesatan yang harus diberantas. Mereka hanya berdalih pada hadis yang berbunyi: إِياكم ومحدثات الأمور فإن كل بدعة ضلالة. 
Artinya: Jauhilah olehmu sesuatu yang diada-adakan karena yang diada-adakan itu bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat. Dan hadis yang berbunyi:
 كل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار. 
Artinya: setiap bid’ah itu sesat, dan setiap kesesatan tempatnya adalah neraka.

Sayangnya, dalam mencerna esensi hadis tersebut mereka berpaling dari ta’wil dan ilmu usul fiqh. Mereka hanya fokus pada tekstual saja. Padahal, hadis tersebut menunjukkan makna umum, sehingga ada beberapa riwayat yang menyatakan sebagai pentakhsis atau suatu pengecualian. Dan terlebih lagi, mereka mengatakan ‘bid’ah’ tanpa mengetahui arti bid’ah yang sesungguhnya, seperti pribahasa yang mengatakan “banyak orang yang mendengar lonceng, tetapi sedikit sekali orang yang mengetahui di mana terletaknya anak lonceng tersebut.

Secara bahasa, bid’ah memiliki arti ‘sesuatu yang diadakan tanpa contoh terdahulu’. Dalam kamus al-Munjid, bid’ah adalah
 ما أحدث على غير مثال سابق 
Artinya : sesuatu yang diciptakan atau dibuat tanpa contoh terdahulu. 
Demikian pulalah, seluruh kamus mengatakan bahwa kata ‘bid’ah’ dalam bahasa Arab ialah sesuatu yang diciptakan dengan tidak ada contoh terlebih dahulu. Pencipta disebut dengan badi’ atau mubtadi’. Dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang mengatakan bahwa Allah itu Badi’, yang artinya pencipta. Firman-Nya
: بديع السماوات والأرض .....(البقرة: 117) 
Artinya: Tuhan yang menciptakan langit dan bumi (Al-Baqoroh 117). Oleh karena, langit dan bumi dapat dikatakan sebagai bid’ah karena diciptakan oleh Allah tanpa contoh terlebih dahulu.

Dan di dalam Al-Qur’an pula, Nabi Muhammad ditegaskan bukan sebagai Rasul yang bid’ah atau nabi yang tidak ada contohnya terlebih dahulu. Firman-Nya berbunyi:
 قل ما كنت بدعا من الرسل .....(الأحقاف: 9) 
Artinya: “Katakanlah (wahai Muhammad) : Saya bukanlah Rasul yang belum ada contohnya terlebih dahulu”. (Al-Ahqaaf :9)

Sedangkan secara istilah syariat, Syekh Izzuddin bin Abdu Salam seorang ulama terbesar dalam lingkungan madzhab syafii’ menerangkan dalam kitabnya “Qawa’idul Ahkam”, yang berbunyi:
 البدعة فعل ما لم يعهد في عصر رسول الله ص م.
Artinya: “Bid’ah itu adalah suatu pekerjaan keagamaan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah SAW”. 

Selanjutnya, bid’ah menurut Imam Syafii terbagi ke dalam dua bagian sebagaimana perkataan beliau yang diriwayatkan oleh Abu Nu’im, yang berbunyi:
 البدعة بدعتان: محموذة ومذمومة. فما وفق السنة فهو محمود، وما خالفها فهو مذموم. (فتح البارى)
Artinya: “Bid’ah itu dua macam, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah terpuji ialah bid’ah yang sesuai dengan sunnah Nabi, sedangkan bid’ah tercela ialah bid’ah yang bertentangan dengan sunnah Nabi” (Kitab Fathul Bari). 

Kemudian, Imam Suyuthi, seorang ulama besar di kalangan madzhab Syafii, pengarang kitab tanwirul halik syarah muwatha Malik, pengarang seperdua dari kitab tafsir jalalain, berpendapat bahwa bid’ah itu takluk kepada hukum fiqh, sehingga bid’ah itu sendiri terbagi ke dalam lima bagian, yaitu: bid’ah haram, makruh, wajib, sunnah, dan jaiz. Pertama bid’ah haram, contohnya seperti kepercayaan bahwa masih ada Nabi sesudah Nabi Muhammad SAW., kepercayaan bahwa Allah tidak memiliki sifat, kepercayaan bahwa mi’rajnya Nabi Muhammad hanyalah mimpi, kepercayaan bahwa Tuhan duduk di atas Arsy seperti duduknya di atas kursi, menambah ayat suci Al-Qur’an, sembahyang bukan dengan bahasa Arab, puasa pada hari raya id dan qurban, dan lain-lain. Kedua bid’ah makruh, seperti membayar zakar berlebihan semisalnya dibayarkan empat karung sedangkan yang wajib hanya empat liter, menetapkan suatu hari untuk ibadah khusus umpamanya berdzikir hanya pada hari jum’at, sholawatan pada hari sabtu saja, dan lain-lain. Ketiga bid’ah wajib, seperti membukukan ayat-ayat suci Al-Qur’an karena takut hilang berserakan sebagaimana yang dilakukan oleh Saidina Abu Bakar dan Utsman RA., memberi titik dan baris pada ayat Al-Qur’an karena khawatir terjadi kekeliruan membaca yang menyebabkan kepada salah pengertian, membukukan hadis-hadis Rasulullah demi memelihara syariat Islam agar tidak hilang sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim, membukukan kitab-kitab fiqh supaya hukum-hukum agama berjalan baik, membuat tafsir Al-Qur’an agar generasi selanjutnya dapat memahami isi kandungan Al-Qur’an, dan lain-lain. Keempat bid’ah sunnah, seperti adzan dua kali pada sholat jum’at yang digagas oleh Sayyidina Utsman bin Affan, melaksanakan sholat terawih 20 rakaat secara berjamaah yang diijtihadkan oleh Sayyidina Umar bin Khottob, membuat madrasah-madrasah agama Islam, qiyam atau berdiri ketika mendengar kisah Maulid Nabi SAW., dan lain-lain. Terakhir bid’ah jaiz atau boleh, seperti membuat makanan-makanan lezat, memakai kendaraan yang bagus, membuat rumah tinggal yang bagus, berangkat haji dengan kapal udara maupun laut, dan lain-lain.

Dari pengertian bahasa dan istilah di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa bid’ah yang sesat adalah dalam konteks keagamaan, baik aqidah maupun syariat. Dengan demikian, hal-hal baru apapun yang berifasat ukhrowi atau keagaaman dan bertentangan dengan Al-Qur’an, Hadis, Ijma, Atsar para Sahabat, maka hal tersebut layak dinyatakan sebagai bid’ah yang sesat atau bid’ah dlolalah. Akan tetapi, apabila hal-hal baru yang bersifat duniawi dan tidak bertentangan dengan keagamaan, maka hal tersebut dapat dinyatakan sebagai bid’ah hasanah atau jaiz.

Karena untuk urusan duniawi yang tidak bersinggungan langsung dengan keagamaan, maka hal tersebut dilimpahkan terhadap kebijakan sendiri. Sebagaimana hadis Rasulullah yang berbunyi:
 أنتم أعلم بأمور دنياكم (رواه مسلم) 
Artinya: “kamu lebih tahu (dari saya) tentang urusan duniamu”. Berbeda halnya dengan urusan keagamaan, harus patuh terhadap Al-Qur’an, Hadis, Ijma, dan fatwa para ulama mujtahid. 

Oleh karena itu, sangat tidak diperkenankan memvonis sesuatu dengan bid’ah, terlebih dengan sebutan bid’ah yang sesat. Karena ancaman bid’ah dan ahli bid’ah sangatlah nyata dan mengerikan. Seperti yang disampaikan Rasulullah yang berbunyi: أبى الله أن يقبل عمل صاحب بدعة حتى يدع بدعته (رواه ابن ماجه) Artinya: “Tuhan Allah enggan menerima ibadah ahli bid’ah, kecuali kalau ia sudah meninggalkan bid’ah itu”. (H.R Ibnu Majah). 

Salah satu tradisi yang dianggap sesat oleh wahabi 
Salah satu tradisi yang dianggap sesat oleh wahabi yaitu kegiatan maulidan Nabi SAW.. Mereka menganggap maulidan adalah bid’ah yang sesat karena tradisi maulidan tidak dilakukan pada masa Rasullah SAW. Dan mereka berdalih dengan landasan pemikiran Ibnu Taimiyyah dan kalangan fanatik padanya yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang mampu dilakukan, namun tidak dilakukan, maka melakukan hal tersebut adalah dilarang. Oleh karena itu mereka menganggap maulidan adalah dilarang, karena pada masa Rasulullah para sahabat memiliki peluang untuk melaksanakan tradisi tersebut, akan tetapi secara lahiriah para sahabat tidak melakukannya, sehingga mereka menarik kesimpulan bahwa tradisi maulidan adalah sesuatu yang dilarang dan sesat. 

Akan tetapi, dalih tersebut sangat dapat dibantahkan. Karena sesuatu yang tidak dilakukan, baik karena tidak mampu atau pun mampu, itu tidak serta merta menjadi konsekuensi hal yang dilarang maupun dibolehkan, kecuali ada dalil yang pasti. Dapat dianalogikan, semisalnya seseorang memiliki kemampuan berupa harta yang melimpah, akan tetapi ia tidak membeli rumah padahal ia mampu, apakah tidak membeli rumah tersebut serta merta diindikasikan menjadi sesuatu yang dilarang? Justru belum tentu sama sekali.

Maulid nabi artinya kelahiran Nabi, dan dalam perkembangan selanjutnya menjadi arti sebuah acara peringatan maulid Nabi SAW. Menurut kesepakatan ulama, yang pertama kali mengadakan acara maulid Nabi yaitu Raja Ibril di Irak, bernama al-Mudhaffar bin Sa’id Kukuburiy bin Zainuddin Ali Buktikin pada abad ke 6 H.

Di Indonesia sendiri, setiap masuk bulan rabiul awwal, mayoritas muslim pasti menggelar acara maulidan di pelbagai masjid-masjid. Hal tersebut dilakukan untuk mengenang jasa-jasa beliau sekaligus bersholawat hingga dzikir kepada Allah. Dalam firman Allah, sangat jelas bahwa sholawat memuji Nabi adalah hal yang sangat dianjurkan bahkan menjadi perintah Allah. Allah pun bersama malaikat bershalawat pada Nabi, dengan bukti firman-Nya yang berbunyi: 
إن الله وملائكته يصلون على النبي ياأيها الذين آمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما (الأحزاب: 56) 
Karena itu sebagai umat Nabi Muhammad pula, sudah sangat selayaknya merayakan kelahiran Nabi serta bersholawat kepadanya. 

Berkaitan dengan perayaan kelahiran Nabi Muhammad, secara esensi pula, Nabi telah merayakan kelahirannya dengan berpuasa pada hari senin. Sebagaimana riwayat hadis yang berbunyi:
 عن أبي قتادة الأنصاري رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم سئل عن صوم الإثتين فقال فيه ولدت وفيه أنزل علي. (رواه مسلم) 
Dari Abu Qotadah Al-Anshori, sesungguhnya Rasulullah SAW ditanya tentang puasa senin (yang sudah menjadi kebiasaan beliau), lalu Beliau SAW menjawab bahwa pada hari itu aku dilahirkan dan pada hari itu pula wahyu diturunkan padaku. (H.R Muslim) 

Dan apabila dilihat dari bentuk perayaannya, maka maulidan termasuk ke dalam bid’ah, sedangkan dilihat dari kandungannya termasuk ke dalam bid’ah hasanah. Dan salah satu komentar ulama dalam kitab iqtidla al-shiroth al-mustaqim bahwa setiap mengagungkan maulidan yang dirayakan oleh muslim, ia akan mendapatkan pahala yang sangat besar karena telah mengagungkan Rasulullah. Dan dalam kitab Ianah Tholibin disebutkan bahwa di antara bid’ah yang baik di zaman kita adalah perbuatan yang dilakukan setiap tahunnya pada hari yang bertepatan dengan hari kelahiran Nabi SAW seperti bersedekah, berbuat baik, menampakkan pakaian yang bagus, dan bergembira.

Selain tradisi maulidan, tradisi berziarah kubur kerap kali dianggap bid’ah bahkan syirik. Mereka mengganggap bahwa ziarah kubur ialah suatu penyembahan terhadap makhluk. Memang pada awal masa kerasulan Nabi Muhammad, berziarah kubur sangat dilarang. Karena hal tersebut dikhawatirkan berpaling keimanan dan lemahnya iman mereka. Akan tetapi, setelah Rasulullah menyaksikan keimanan para sahabat, Rasulullah memerintahkan untuk berziarah kubur semata-mata mendoakan kebaikan terhadap ahli kubur serta mengingat-ngingat kematian bahwa kematian adalah hal yang pasti. Berikut hadisnya:
 عن بريدة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم قد كنت نهيتكم عن زيارة القبور فقد أذن لمحمد في زيارة قبر أمه فزوروها فإنها تذكر الآخرة (رواه ترميذي)
Dari Buraidah berkata: Rasulullah SAW bersabda, saya pernah melarang kamu berziarah kubur. Tapi sekarang, Nabi Muhammad telah diberi izin untuk berziarah ke makam ibunya. Maka sekarang, berziarahlah! Karena perbuatan tersebut dapat mengingatkan kamu pada akhirat. (H.R Turmudzi) 

Dan salah satu kesalahan wahabi dalam mencerna hadis tersebut yaitu tidak mengimbangi dengan ilmu usul fiqh, tepatnya dalam menasakh hadis tersebut. Hadis tersebut berlaku nasakh hadis dengan hadis, artinya menggugurkan hukum hadis pertama dengan hadis berikutnya yang bertalian. Maksudnya hadis pertama menunjukkan larangan terhadap ziarah, kemudian datang kembali hadis selanjutnya yang mengugurkan hukum hadis pertama, menjadi boleh berziarah. 

Dalam kitab ihya ulumiddin, Imam Ghozali mengatakan bahwa hukum berziarah ialah sunnah mustahab, sunah yang dianjurkan dalam rangka sebagai peringatan dan pelajaran. Dan juga berziarah kubur kepada orang sholih dalam rangka mencari barokah adalah sunah mustahab pula. 

Kiat-kiat menghadapi wahabisme 
Salah satu kiat yang paling utama untuk menangkal ideologi wahabi yaitu degan belajar, belajar dan meningkatkan keilmuan. Rasulluah bersabda:
 كاد الفقر أن يكون كفرا 
Artinya: Kemiskinan itu dekat dengan kekufuran. 

Dalam mengintepretasi hadis tersebut, kemiskinan tidak hanya berupa material, namun pula dalam bentuk pengetahuan atau keilmuan. Sehingga belajar dengan giat adalah sesuatu yang sangat penting sebagai senjata dan perisai. Dan belajar dengan giat pun tidaklah cukup, karena ada sesuatu yang lebih esensial yaitu belajar kepada guru yang tepat. 

Selain guru yang tepat, maka tempat atau lingkungan sebagai tempat belajarnya juga berpengaruh. Sebagaimana yang dikatakan Gus Miftah bahwa salah kaprah dalam majelis ilmu atau tempat menuntut ilmu, itu lebih bahaya dari pada salah pergaulan. Oleh karena itu guru, tempat dan pergaulan yang in sya Allah tepat, dapat ditemukan di IPNU/IPPNU. 

Akhir kata, permohonan maaf sangat diharapkan apabila banyak kekeliruan. Dan sungguh kemampuan dapat menyusun tulisan ini adalah bentuk rahmat Allah SWT. Salam 3B (Belajar, Berjuang, Bertakwa). 

Referensi Kitab 
risalah ahli sunah waljamaah karya KH. Hasyim Asyari Kitab Mabadi Awwaliyah fi Usul Fiqh wal Qowaid fiqhiyyah karya Abdul Hamid Hakim Buku 40 Masalah Agama karya KH. Siradjuddin Abbas Buku ASWAJA pedoman pelajar, guru dan warga NU Buku Landasan Amaliyah NU karya Lajnah Ta’lif wa nasyr NU LTNU Jombang Media NU Online

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Inspiratif: Ibu Enam Anak yang Berprestasi

Tidak ada kaitannya marah dengan baik (cerita Nabi dengan istrinya, Shofia)

berbincang Asyik tentang kebinekaan bersama kemendikbud