Santri Berpolitik, Siapa Takut! (Essai)


 (foto: https://id.pinterest.com/pin/5488830788970734/)

Salah satu hal yang harus kita sadari sebagai santri adalah bersyukur. Mengapa? Karena kita tidak hanya dibekali dengan ilmu agama, melainkan dengan ilmu kehidupan. Ilmu itulah yang dapat mengantarkan kita kepada kehidupan yang lebih bermakna.

Jika kita ingat-ingat kembali, bahwa santri memang terbiasa dengan keragaman pendidikan yang bersifat menyeluruh. Sebagaimana yang dikatakan oleh (Anggi Afriansyah, 2016) bahwa pendidikan pesantren meliputi olah pikir, olah hati, olah karsa dan olah raga. Olah pikir melalui kegiatan pembelajaran baik pelajaran umum maupun agama, seperti pengajian tafsir, kitab kuning, pelatihan bahasa atau pidato. Olah hati melalui pembiasaan kegiatan ibadah, seperti sholat malam, sholat berjama’ah, sholawatan, tadarus Al-Qur’an, dzikir dan istighosah. Olah karsa melalui pengasahan soft skills seperti tanggung jawab, percaya diri, juga sikap saling toleran, gotong royong, menghargai dan menghormati kepada seksama maupun kepada ustadz/ustadzah hingga masyarakat sekitar. Olah raga dapat dilalui dengan kegiatan fisik seperti bermain sepak bola, latihan bela diri, dan lain sebagainya.

Selain akademik berupa keilmuan agama maupun pengetahuan umum serta soft skills, santri sudah terbiasa diasah keterampilannya, hard skills. Seperti keterampilan dalam peternakan, wirausaha atau entrepreneur, tata boga, kemampuan desain grafis hingga robotik. Hal itu pun menjadi menjadi pendorong santri dalam mengikuti perlombaan hingga kancah internasional.

Melihat realitas demikian, maka tak dapat dipungkiri bahwa santri memiliki kontribusi besar bagi bangsa. Santri memiliki jejak sejarah yang luar biasa bagi kemerdekaan Indonesia. Kita sebut saja salah satu sejarah heroik yaitu Resolusi Jihad NU 22 Oktober 1945 yang digagas oleh KH. Hasyim Asyari. Beliau adalah salah satu santri sekaligus ulama nusantara yang mengajak seluruh ulama, santri, dan umat muslim untuk jihad melawan kedzaliman penjajah Belanda yang ingin menguasai tanah air kembali setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.

Tentu pada saat perjuangan mempertahankan Indonesia, tidak hanya harta yang dikorbankan, melainkan darah pun menjadi jaminan tanpa rasa takut demi tegaknya Negeri ini. Hal tersebut menunjukkan bahwa seorang santri sudah sepantasnya mengeluarkan segala kemampuan untuk memperoleh kemaslahatan seksama. Dengan pengetahuan agama yang mumpuni, serta dukungan dan bimbingan kiai, maka kontribusi apa pun yang dikeluarkan santri tentunya tanpa melewati koridor agama atau syari’at.

Saat ini, telah banyak santri yang berperan di tanah air. Ada yang berperan di bidang pendidikan dan dakwah, seperti KH. Hasyim Asyari dan KH. Bahauddin Nursalim, serta masih banyak yang lainnya. Ada yang berperan di bidang teknologi, seperti Ainun Najib. Ada yang berperan di bidang kesehatan, seperti Gus Muhammad Haris (NU Online, 2013). Bahkan ada yang berperan di bidang politik seperti KH. Abdurrahman Wahid, KH. Ma’ruf Amin dan Gus Barra. 

Itulah bukti konkret bahwa seorang santri dapat berperan di segala aspek kehidupan yang tentunya membawa nilai agama dan kemaslahatan. Dan inilah hal yang belum tentu ada dan melekat pada umumnya masyarakat. Sehingga hal inilah yang menjadi keistimewaan seorang santri.

Urgensi Santri Berpolitik

Dalam dunia ekonomi, ada istilah human capital yang berarti bahwa seorang manusia adalah aset yang suatu saat akan memberikan sumbangsih kebermanfaatan. Pada data laporan Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama tercatat ada 4,37 juta santri yang tersebar di seluruh Indonesia pada tahun ajaran 2020/2021.  Jumlah tersebut terdiri dari 2,3 juta santri laki-laki dan 2,07 juta santri perempuan. Berdasarkan data tersebut, apabila santri sebagai aset maka hal ini akan menjadi peluang untuk mewujudkan indonesia lebih emas.

Merujuk pada kitab I’dzotunasyiiin karya Syekh Mustofa Gulayaini bahwa pemuda adalah pondasi bangsa dan pusaka keagungan umat. Apabila santri sebagai pemuda, maka berjuta-juta santri adalah peluang harapan masa depan yang dapat mengantarkan Indonesia lebih sejahtera.

Salah satu faktor kesejahteraan suatu negeri, yaitu adanya pemimpin yang adil. Pemimpin yang adil adalah pemimpin yang memiliki integritas pada ketuhanan Yang Maha Esa serta mampu mendudukkan perkara sesuai dengan porsinya. Dan sebagaimana yang diimplementasikan oleh KH. Abdurrahman Wahid bahwa nilai ketuhanan adalah nilai fundamen yang harus menjadi rujukan utama bagi seseorang. Sehingga dalam hal ini, santri yang terbiasa dengan nilai-nilai agama menjadi hal yang tidak perlu diragukan lagi.

Negara dan agama adalah dua hal yang saling berkaitan. Dalam jurnal (Davit, 2018), Ibnu Khaldun mengatakan bahwa ada hubungan timbal balik antara agama dan negara. Negara sangat membutuhkan agama sebagai dasar kontruksi regulasi hingga moralitas suatu bangsa yang sangat penting dalam keberlanjutan suatu bangsa dan negara. Dan agama pun membutuhkan suatu negara agar agama tetap terjaga eksistensinya. Sebagaimana yang disampaikan oleh KH. Marzuki Mustamar bahwa negara tanpa agama akan roboh, sedangkan agama tanpa negara akan menghilang.

Pada dasarnya, sebagaimana yang dikatakan Ibnu Khaldun bahwa agama sangat mempengaruhi pemikiran manusia, masyarakat, peradaban, hingga negara. apabila negara dikakatan sebagai kekuatan yang bersifat luar atau ekstrinsik karena memiliki regalitas kekuasaan dan keputusan, maka agama menjadi senjata dan kekuatan yang bersifat dalam atau intrinsik.

Setelah kita lihat hubungan agama dan negara, maka kehadiran seorang pemimpin yang berintegritas terhadap agama dan negara adalah hal yang sangat dibutuhkan demi keberlangsungan kehidupan yang sejahtera. Maka, hal ini yang menjadi panggilan terhadap santri untuk menunjukkan eksistensinya sebagai kader pemimpin bangsa. 

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, bahwa politik memiliki arti sebagai segala urusan berupa kebijakan atau siasat mengenai pemerintahan negara. maka seseorang dikatakan berpolitik manakala ia ikut serta mengurus suatu kebijakan. Dan lagi-lagi, orang yang berpolitik itulah sebagai dalang atau aktor utama pemangku kebijakan. Apabila aktor tersebut berisikan air keruh, maka kebijakannya pun akan keruh. Dan apabila aktor tersebut berisikan air jernih, maka kebijakannya pun akan jernih.

Selain itu, orang yang memangku kepentingan politik atau memiliki wewenang regulasi adalah hal yang sangat strategis. Dan regulasi tersebut dapat digunakan untuk segala aspek kepentingan. Tentunya kepentingan yang bersifat kemaslahatan atau yang terdeskripsikan dengan air jernih tadi.

Dalam dakwahnya KH. Bahauddin Nursalim yang lebih akrab dengan Gus Baha, beliau berkata, “kalau santri tidak mau bahas dan terjun politik, memangnya Islam mau disalurkan lewat apa? Seribu fatwa haram melacur itu masih kalah dengan satu tanda tangan penutupan lokasinya”. Dari kutipan dawuh Gus Baha tersebut, kita menyadari bahwa beliau mendorong seorang santri untuk ikut serta sebagai aktor politik yang mimiliki peran urgen dalam suatu regulasi dan kebijakan.

Santri yang telah dibekali ilmu agama, dibiasakan bertatakrama luhur yang langsung dicontohkan oleh seorang kiai, juga telah diajari kehidupan bermasyarakat, serta dibubuhkan dengan pembelajaran yang kontekstual akan menjadi nilai tambah dan modal untuk ikut serta berpolitik. Romo KH Asep Saepuddin Chalim, pengasuh pondok pesantren Amanatul Ummah, selalu mengumandangkan bahwa seorang santri harus memiliki cita-cita sebagai seorang pemimpin. Mengapa? Tentunya demi tegaknya negara yang sejahtera dan adil.

Dapat dibayangkan apabila seorang santri menjadi seorang pemimpin dan ikut serta berpolitik. Maka seorang santri tersebut dapat menjadi role model bagi masyarakat. Tentu role model tersebut dari segi perilaku yang beradab, keilmuan agama maupun pengetahuan umum yang mumpuni, hingga kebijakan yang sangat mendukung dan mengantarkan terhadap kesejahteraan bangsa.

Dalam prakteknya, santri telah terbiasa dengan miniatur pemerintahan di pesantren melalui sebuah organisasi. Organisasi tersebut berbeda dengan organisasi pada umumnya di suatu lembaga pendidikan formal. Santri yang bergabung dan terpilih dalam kepengurusan organisasi memiliki peran yang sangat kompleks dalam menjalankan roda kepengurusannya. Tidak hanya suatu agenda kegiatan besar yang mereka laksanakan, akan tetapi hal yang nampak sederhana pun sudah terbiasa mereka lakukan. Seperti pendisiplinan sholat berjamaah, penertiban kebersihan, pengawasan keamanan, hingga urusan pembagian makan. 

dalam praktek organisasi tersebut, ada beberapa keilmuan penting yang jarang diajarkan di bangku formal. Yaitu berkaitan dengan soft skill, seperti cara berbicara atau komunikasi, problem solving atau pemecahan masalah, bagaimana bangkit dari kesalahan, dan keberanian. Misalnya dalam berkomunikasi, seorang santri sudah terbiasa mengutarakan gagasan kepada ustadz selaku pembina organisasi, juga saat rapat atau pun penyampaian kebijakan kepada santri umum. Dan pada kesempatan itu, keberanian dan bagaiman bernegoisasi pun secara tidak langsung pun terkontruksikan. Sehingga hal itulah yang menjadi nilai plus bagi seorang santri. 

Terlebih lagi, sebagaimana dawuh KH Asep Saepuddin Chalim bahwa seorang santri tidak sepantasnya gentar terhadap masa depan. Artinya, dengan bekal yang selama ini ditanam pada jiwa dan raga santri, seorang santri akan dapat menjadi apa saja, terlebih seorang pemimpin.

Seorang santri, bukan hanya sekedar identitas, namun tersematkan harapan bangsa. Santri sang penyejuk umat, santri sang pembawa perdamaian, santri sang pejuang sebagaimana terwujudnya harapan berupa utuhnya kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah Belanda melalui perjuangan santri.

Santri telah lama dikenal sebagai seseorang yang ulet, seseorang yang tidak pilih-pilih, seseorang yang terus mencoba. Maka hal itu sesuai dengan pesan KH Asep Saepuddin Chalim bahwa santri tidak boleh mengatakan “tidak bisa”. Artinya, bagaimana pun tugas yang diemban oleh seorang santri, misalnya diberi amanah sebagai pemimpin, maka satu kata yang pantas untuk santri, yaitu “hadapi!”.

Jika kita berkaca kembali, KH Abdurahman Wahid dan KH. Ma’ruf Amin yang merupakan presiden dan wakil presiden Republik Indonesia telah meneladankan kepada kita bahwa seorang santri dapat berpolitik. Jika pada saat berorganisasi di pesantren telah terbiasa dengan semboyan “siap dipimpin dan siap memimpin”, maka dalam estafet pemerintahan selanjutnya, seroang santri harus siap memimpin dalam skala yang lebih luas, skala pemerintahan Republik Indonesia.

Dan ketika kita telaah kembali statistik santri yang berada di seluruh nusantara, yang begitu banyak jumlahnya, maka apabila salah satu di anatara mereka ada yang menjadi pemimpin dari setiap daerahnya masing-masing, sungguh itulah hal yang sangat diidamkan. Dan saat itu terjadi, nilai agama akan menjadi fundamen secara menyeluruh bagi setiap kebijakan. Implikasinya, Indonesia akan lebih sejahtera secara merata dari sabang sampai merauke.

Oleh karena itu, saatnya santri terjun berpolitik. Santri telah memiliki kekuatan intrinsik berupa keilmuan agama dan budi luhur. Ketika santri memangku politik, negara akan lebih aman, beribadah nyaman, dan kehidupan lebih menentramkan.


Daftar Pustaka


Anggi Afriansyah. 2021. Imajinasi Problematika, Kompleksitas Wajah Pendidikan Indonesia. (Yogyakarta: Pojok Cerpen).

Davit Herdiansyah Putra. “Peran Agama dalam Negara Menurut Ibnu Khaldun”. (Jurnal Mantiq: Vol III No.2 Tahun 2018)

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/03/06/ada-437-juta-santri-di-seluruh-indonesia-pada-tahun-ajaran-20202021-jawa-timur-terbanyak. Diakses pada hari selasa, tanggal 24-10-2023.

https://islam.nu.or.id/ilmu-hadits/siapa-imam-atau-pemimpin-yang-adil-dalam-hadits-nabi-PkHlo. Diakses pada hari rabu tanggal 25-10-2023.

https://nu.or.id/daerah/santri-juga-bisa-jadi-dokter-yang-sukses-vr0SP. Diakses pada hari selasa, tanggal 24-10-2023.

https://www.nu.or.id/nasional/kiai-marzuki-mustamar-tanpa-kedaulatan-negara-agama-bisa-hancur-1FXnt. Diakses pada hari rabu tanggal 25-10-2023.

Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke-IV

Musthofa Gulayaini. 1913. Idzotunasyiin. (Surabaya: Maktabah Imam).

Pengajian kitab kuning Mukhtarul ahadis karya Syekh Ahamd al-Hasyimi oleh KH Asep Saepuddin Chalim di Ponpes Amanatul Ummah.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Inspiratif: Ibu Enam Anak yang Berprestasi

Tidak ada kaitannya marah dengan baik (cerita Nabi dengan istrinya, Shofia)

berbincang Asyik tentang kebinekaan bersama kemendikbud